JAKARTA, fornews.co – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut harus membedakan ‘efek Jokowi’ pada calon presiden (capres) dan pada partai. Mengapa? Pada capres, efek Jokowi ini akhirnya hanya dimonopoli oleh Prabowo-Gibran saja.
Penambahan suara Prabowo-Gibran pun juga sebagian karena migrasi dan eksodus besar-besaran pemilih Jokowi dari Ganjar Pranowo akibat blunder fatal kubu Ganjar sendiri.
“Jokowi’s effect ini berbeda di dunia partai dalam pemilu legislatif. Untuk dunia partai yang bertarung ada Gerindra, Golkar, PAN, dan juga PSI. Semua partai ini memainkan efek Jokowi,” ujar Pendiri LSI, Denny JA, lewat rilis resminya, Selasa (5/3/2024).
Golkar misalnya, kata Denny, membuat iklan yang besar dan masif berkisar asosiasi tentang Golkar-Jokowi dan Jokowi-Golkar. Iklan ini diulang-ulang menjelang hari pemilihan 14 Februari 2024. Hasilnya: efek Jokowi kepada Golkar naiknya sangat terasa. Hal yang sama juga dengan PAN. Partai ini juga mengasosiasikan diri kuat sekali dengan Jokowi. Bahkan ketika bagi-bagi bansos pun, dinyatakan ‘Ini bansos dari Jokowi, ya. Jangan lupa’.
PSI sendiri suaranya juga naik jika dibandingkan dengan Pileg 2019. Tapi memang naiknya dukungan pada PSI tidak signifikan ke angka melampaui 4 persen, untuk lolos parliamentary threshold.
Mengapa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tak mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dari Jokowi? Bukankah ketum PSI juga putra Jokowi?
“Ketika semua berebut efek Jokowi, penentunya kemudian adalah efektivitas mesin politik partai. Ketika banyak partai mengasosiasikan diri dengan Jokowi, mesin Golkar dan mesin PAN jauh lebih kuat, jauh lebih besar, jauh lebih berpengalaman, dan jauh lebih lihai dibandingkan dengan mesin PSI,” kata dia.
Akibatnya, ungkap Denny, PSI mendapatkan porsi efek kecil saja dari Jokowi itu. Golkar dan PAN jauh lebih besar mendapatkannya. Untuk dunia partai, Golkar yang paling memperoleh buah termanis dari efek Jokowi.
Sebutkan ‘The Top 3′ pemenang pemilu 2024? Ini jawabannya, tegas dan tanpa keraguan. Pemenang pertama adalah Prabowo dan Gibran. Pasangan terpilih telak sekali, menang satu putaran saja.
Pemenang kedua adalah Jokowi. Itu karena legacy Jokowi diteruskan oleh pasangan Capres dan Cawapres pilihannya, yang menang Pilpres 2024.
Pemenang ketiga adalah Partai Golkar. Memang dukungan kepada PDIP lebih tinggi dibandingkan Golkar pada Pileg 2024. Tapi dukungan kepada PDI Perjuangan (PDIP) jika dibandingkan dengan Pileg 2019, justru menurun.
“Sebaliknya, walau di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 Golkar memang masih di bawah PDIP, tapi dibandingkan dengan Pileg 2019, naiknya dukungan kepada Golkar paling tinggi dibanding semua partai lainnya,” ungkap dia.
“Bahkan naiknya dukungan kepada Golkar di Pileg 2024 lebih tinggi dibandingkan naiknya Gerindra. Ini sebuah kenyataan yang juga tak biasa,” imbuh Denny.
Mengapa Partai Gerindra tak banyak mendapatkan efek dari Prabowo? Bukankah Prabowo itu sangat berjaya, dan Gerindra adalah partainya Prabowo sendiri.
Jawabannya, jelas Denny, manuver para calon legislatif (caleg) di tingkat nasional. Pada seminggu terakhir sebelum hari pencoblosan 14 Februari 2024, permainan para caleg Golkar itu jauh lebih yahud, lebih canggih, lebih efektif. Itu karena mereka lebih berpengalaman. Akibatnya memang efek Jokowi ini jauh lebih banyak didapat oleh Golkar melampaui efek Prabowo yang didapatkan oleh Gerindra.
Dua Penyebab Mengapa Warga Memilih Parpol
Mengapa sebuah partai politik (parpol) dipilih oleh warga? Apa motif warga memilih partai itu? Denny menyebut ada dua penyebab.
Pertama adalah identitas partai dalam kaitannya dengan pengalaman pribadi warga. Baik Golkar, Gerindra, PDIP sudah memiliki komunitas militannya sendiri. Hadir Party’s ID (Party Identification). Sejak lama warga itu memilih partai yang sama.
“Tapi temuan survei LSI Denny JA, 30 persen dukungan untuk partai itu disumbangkan oleh para caleg mereka. Warga memilih partai bukan hanya karena daya tarik partai. Sebagian juga itu karena hadirnya caleg yang kuat pesonalnya, kuat geraknya, kuat manuver dan mobilisasinya,” kata dia.
Denny menerangkan, sering terjadi dalam survei, untuk pertanyaan partai mana yang dipilih? Acap kali Gerindra melampaui Golkar. Tapi hasil akhirnya Golkar justru melampaui Gerindra.
Mengapa? Ini karena peran caleg. Umumnya caleg Golkar ini ternyata lebih lihai, lebih berpengalaman, dan memiliki jam terbang lebih tinggi untuk merebut dukungan pemilih.
“Jika waktu itu Kaesang terpilih sebagai Ketum PSI lebih awal, mungkin lebih banyak caleg yang datang ke PSI yang lebih memiliki jam terbang. Sehingga para caleg ini akan jauh lebih menyumbangkan suara kepada PSI,” terang dia.
“Kini sumbangan suara PSI datang dari Kaesang karena bekerjanya efek Jokowi. Tapi itu tak maksimal. Para caleg PSI dikalahkan oleh para caleg Golkar dalam memainkan Jokowi’s effect,” tandas dia. (aha)