JAKARTA, fornews.co – Politik biaya tinggi dan juga faktor integritas aparat penegak hukum menjadi sisi hulu penyebab dari stagnannya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang turun peringkat dari 110 menjadi 115 dari 180 negara.
Hal tersebut disampaikan Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardani, yang merespons rilis Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparency International, di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi 2023 atau Corruption Perception Index (CPI), skor IPK Indonesia mengalami stagnasi yakni 34 dan berada pada peringkat 115 dari 180 negara.
Jaleswari menyatakan, kondisi skor tersebut harus menjadi evaluasi bersama dari seluruh jajaran pemerintah, untuk perbaikan penguatan integritas dan kredibilitas di sisa masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Rilis Indeks Persepsi Korupsi ini, sambung dia, penting bagi pemerintah sebagai evaluasi kebijakan pemberantasan korupsi dari hulu.
“Ini karena masih terjadinya suap dalam layanan publik dan perizinan, integritas aparat birokrasi dan penegak hukum yang belum cukup baik, serta money politics yang berakibat pada politik biaya tinggi dan kualitas demokrasi,” ujar dia.
Jaleswari yang juga Pengarah Tim Nasional Stranas Pencegahan Korupsi itu mengatakan, terkait terjadinya politik biaya tinggi, data KPK menunjukkan lebih dari 186 kepala daerah dan 35 Menteri/Kepala Lembaga menjadi terpidana korupsi dalam periode 18 tahun terakhir.
“Terjadinya politik uang dalam pemilu jadi salah satu penyebab para politisi ini terlibat korupsi. Biaya politik saat ini sangat tinggi, dari data yang kami dapat dari FGD internal pemerintah, rata-rata biaya politik yang dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR-RI adalah Rp10-15 Miliar dan kepala daerah Rp100 Miliar,” kata dia.
Jaleswari mengungkapkan, biaya politik ini sebagian besar digunakan untuk operasional jaringan tim di lapangan, termasuk melakukan jual-beli suara (vote buying) yang menurut hasil survei Global Corruption Barometer dialami oleh 26% pemilih di dalam Pemilu Indonesia (TI, 2020).
“Tingginya biaya politik ini diperkuat dengan hasil kajian KPK, bahwa 82.3 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor (bohir) sehingga membuka peluang terjadinya transaksional politik,” tandas dia. (aha)