fornews.co – Awal masehi hingga runtuhnya Majapahit pria-pria berambut panjang telah menjadi kelaziman. Masuknya koloni Belanda di Nusantara merusak kebudayaan dan identitas orang Jawa.
Pada masa Dinasti Liang (502-556M) dan Sung (960-1279M), Tiongkok mencatat pria-pria berambut panjang di Jawa sudah ada sejak abad ke-6.
Baca: Dituduh Memberontak Danang Sutawijaya Selamatkan Adiknya saat Dibawa ke Semarang
Rambut panjang terbagi menjadi dua golongan yaitu kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Bagi kaum bangsawan dan raja, pria berambut panjang adalah pencapaian terhadap kepribadian sebenar-benarnya lelaki.
Sementara lelaki berambut panjang bagi kaum jelata menjadi kehormatan membiarkan rambutnya terurai di hadapan para bangsawan dan raja.
Para lelaki yang menggelung rambut panjangnya dengan cara dicepol bisa dipastikan adalah para pejabat tinggi seperti yang tergambar pada relief-relief candi.
Baca: Hadeging Kadipaten Pakualaman Khazanah Budaya Nusantara
Sebagian orang menyebut pria berambut panjang adalah indentitas bagi orang Jawa. Namun, memasuki abad 20 muncul anggapan miring terhadap pria berambut panjang (baca gondrong red.) khususnya di Indonesia.
Dalam budaya Jawa, rambut dapat dimaknai sebagai gambaran perasaan. Hal ini dapat dilihat pada blangkon orang Jawa.
Mondolan pada blangkon Jawa dimaknai rambut yang diikat adalah perasaan yang disembunyikan.
Mondolan menggambarkan rambut lelaki Jawa yang digelung menggunakan iket kepala.
Baca: Gembong Pengkhianat di Pemakaman Raja-raja Mataram
Sejumlah ahli sejarah Islam menyebut Anas bin Malik meriwayatkan panjang rambut Rasulullaah Muhammad Shalallaahu ‘Alayhi Wasallaam adalah antara dua telinga dan dua bahunya.
Dalam riwayat lain, Anas bin Malik menyebutkan panjang rambut Rasulullaah Muhammad Shalallaahu ‘Alayhi Wasallaam melewati dua telinganya.
Pada riwayat lain HR Nasa’i dari Anas bin Malik ra disebutkan rambut Rasulullaah Muhammad Shalallaahu ‘Alayhi Wasallaam berombak, tidak keriting dan tidak pula lurus, antara kedua telinganya dan tengkuknya.
Baca: Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta Wujud Konsep dari Sunan Kalijaga
Dilansir dari National Geographic, Khalid Elhassan dalam tulisannya berjudul “Our Fashion Choices Today Would Have Been Extremely Questionable in History” yang diterbitkan pada 11 April 2022 mengatakan rambut panjang pria adalah tanda kekayaan, kekuasaan, dan kejantanan.
Di Eropa pada abad pertengahan pria berambut pendek menandakan perbudakan dan kaum tani. Sedangkan pria kelas atas Eropa hanya memotong sedikit dari rambutnya sebagai tujuan pertobatan atau representasi momen berkabung.
Lantas, terjadi pergeseran dari rambut panjang ke rambut pendek sebagai bagian dari gaya hidup pria?
Baca: Mimis Kencana Siasat Perang Pangeran Diponegoro dan Pakubuwono VI Hancurkan Belanda
Rambut pendek pada kaum pria diasosiasikan dengan Roundheads pro-Parlemen dalam Perang Saudara Inggris (1642-1651). Sementara pria berambut panjang diasosiasikan dengan kaum royalis Cavaliers.
Di Indonesia, rambut pendek bagi kaum pria diasosiasikan dengan priyayi pro-Belanda. Sementara kaum pribumi berambut panjang diasosiasikan dengan ekstrimis.
Diperkirakan memasuki 1900-an, ketika hukum-hukum Belanda diberlakukan, semakin banyak kaum pribumi yang mengikuti cara-cara Belanda.
Baca: Mimis Kencana Siasat Perang Pangeran Diponegoro dan Pakubuwono VI Hancurkan Belanda
Belanda memaksa kaum pribumi mengenakan gaya pakaian Eropa. Mereka mengenakan jas, kemeja, celana panjang, rok, dan rambut pendek.
Berdasarkan catatan sejarah Perang Dunia I, lelaki berambut pendek hingga dicukur habis adalah cara efektif melawan serangan penyakit.
Hingga tahun 1920-an, rambut pendek menetapkan gaya pria dipengaruhi oleh budaya Barat. Sedangkan rambut panjang yang menandakan status sosial tinggi dianggap tidak berbudaya. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.