PALEMBANG, fornews.co – Di bawah terik matahari yang terasa menyengat kulit, Febrian Putra Sopah dan Yoga Safriansyah, berbagi tugas ada yang mengoyak-ngoyak kertas bekas, juga mencetak bubur kertas di atas screen sablon berukuran 20×30 senti meter (cm).
Dengan berlindung di balik pohon yang tumbuh di halaman Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel), di Palembang, Selasa (13/08/2019), keduanya tampak fokus untuk menyelesaikan daur ulang kertas yang siap dicetak.
“Kalau panas matahari seperti ini, setidaknya butuh dua hingga tiga jam kertas-kertas daur ulang ini kering,” tutur Febrian Sahabat Walhi Sumsel, sembari mengangkak papan triplek sebagai media untuk menjemur bubur kertas yang dicetaknya. Setiap satu papan, terdapat 12 lembar kertas daur ulang.
Pendauran ulang kertas ini sendiri, sebagai bentuk keprihatinan mereka akan hutan tropis terus menyusut akibat aktifitas deforestasi, degradasi dan fragmentasi (hutan), salah satunya untuk bahan baku pembuatan kertas. Kondisi ini menjadi masalah besar terhadap lingkungan hidup (pemanasan global).
“Berdasarkan riset yang dilakukan WWF bahwa, untuk memproduksi satu rim kertas (500 lembar), itu setidaknya membutuhkan tiga batang kayu ber-usia lima tahun,” ujarnya, sambil membayangkan berapa besar hutan yang dibabat hanya untuk kertas ini saja.
Diakui, setiap aktifitas manusia modern sekarang ini, tidak terlepas dari kertas. Sementara, kebutuhan kayu bagi industri pulp and paper hingga saat ini masih juga bergantung pada produksi hutan alam.
“Bahkan sekarang ini, sebagian besar hutan di lahan basah (rawa gambut) di Sumsel, itu dikuasi oleh perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Jadi lengkap sudah persoalan lingkungan yang timbul (pemanasan global),” terangnya.
Oleh karenanya, secara perlahan, Walhi Sumsel bersama Sahabat Walhi, memenuhi kebutuhan kertas dengan mendaur ulang seperti kertas koran, plano dan lain-lain dengan mendirikan Rumah Produksi.
“Di Rumah Produksi ini, selain kegiatan daur ulang kertas, kita juga membuat buletin lingkungan namanya Lembing (Lembar Informasi Lingkungan),” kata Febrian.
Lanjutnya, mengenai daur ulang kertas ini, Walhi Sumsel, yang menaunginya akan masuk ke sekolah-sekolah menengah untuk mengedukasi siswa dengan tajuk “Kisah Selembar Kertas”. Ia menilai, sejauh ini mereka hanya menggunakan tanpa tahu seperti apa proses untuk menjadikan selembar kertas. Dari mana sumber dan apa dampaknya.
“Mereka tidak tahu, ada penggusuran, alih fungsi hutan konservasi, konflik dan juga praktek pembakaran lahan yang semua ini penyebab rusaknya lingkungan (alam) di Sumsel, khususnya,” tandasnya. (ars)