Penulis: A.S. Adam
ANGIN semilir berjatuhan daun-daun kering. Bukit menoreh seperti sejengkal jaraknya. Burung berwarna putih bermanuver turun di persawahan. Di sawah, burung-burung putih berkaki panjang, berwarna kuning, mengerumuni petani penggarap sawah. Lahan digarap tanpa deru mesin. Lebih tradisional.
Suasana di Kecamatan Borobudur hampir sama dengan tempat-tempat lain di Jawa Tengah. Yang membedakan tempat ini karena terdapat Borobudur berlatarbelakang bukit menoreh yang melegenda. Begitu pula sebaliknya, dari ketinggian di bukit menoreh, Borobudur terlihat cantik saat tersapu kabut di waktu fajar.
Matahari sudah semakin meninggi. Saya harus pulang ke Jogja secepatnya. Beberapa janji harus saya penuhi.
Baca: Jalur Lain ke Borobudur #2
Melakukan perjalanan panjang menggunakan sepeda motor beroda dua bukanlah hal mudah. Namun bagi yang terbiasa touring, pejalanan jauh justru mengasikkan.
Selain dari jalur yang saya lewati, bagi Anda yang ingin menuju Yogyakarta dari Borobudur, bisa melewati jalan Magelang, Muntilan, dan sungai Krasak di Tempel, Sleman.
Atau bisa melewati jalaur lain yang lebih ekstrim melintasi kaki Gunung Merapi. Jalur ini lebih cepat sampai Jogja dibanding jalur lainnya. Tapi ini hanya khusus jalur kendaraan beroda dua. Jalur ini memiliki jalan yang sangat rusak parah.



Dari Muntilan ke arah Merapi melintasi jalan Dukun, lalu di persimpangan SMPN 1 Dukun atau pertigaan ke tempat wisata Jurangjero, Anda belok kanan melewati sekolah SMAN 1 Dukun.
Setelah itu melewati Tompen, Ganden, pasar tradisional Bulu, Srumbung, dan sampailah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari sini Anda bisa mengikuti jalan menuju kota dengan mudah.
Namun kali ini saya tidak melintas di jalur Merapi. Ada satu tempat yang ingin saya kunjungi, yakni makam Pahlawan Indonesia Nyi Ageng Serang.
Baca: Jalur Lain ke Borobudur #1
Kedua, dari pasar Muntilan bisa ke arah Atau saya melewati jalur yang sama saat berangkat ke Borobudur: melewati hutan dan jalan yang berkelok-kelok dengan turunan serta tikungan tajam.
Di tengah perjalan pulang ke Jogja yang berkelok-kelok dengan turunan tajam. Berjarak beberapa ratus meter dari perbatasan wilayah provinsi, saya melewati serombongan petugas kebersihan berpakaian oranye sedang membersihkan sampah. Mereka mengeruk sampah-sampah yang mengeras tercampur tanah lempung dan memasukannya ke dalam bak mobil terbuka.
Beberapa menit kemudian, di tengah perjalanan ke Jogja, saya mendapati jalan pengubung ke wilayah Magelang dan Yogyakarta rusak. Jalan rusak itu tidak jauh perbatasan antarprovinsi.

Magelang., di Provinsi Jawa tengah (foto fornews.co/adam)


Saya memutuskan untuk berhenti dan mencari tahu perihal jalan rusak tersebut kepada warga.
Tolib warga Beji, Banjaroya, Kalibawang, Kulonprogo, menjelaskan bahwa jalan tersebut sudah tiga tahun rusak dan belum ada perbaikan.
Pernah sebuah mobil mengalami pecah ban akibatnya cipratan batunya memecahkan etalase milik Tolib.
“Kaca etalase saya sampai pecah kena batu saat mobil melintas di jalan itu,” ungkap pemilik jasa fotocopy sambil menunjuk jalan berlubang.
Meski tergolong jalan provinsi, namun masyarakat Banjaroyo sudah melaporkannya ke pihak terkait untuk segera diperbaiki.
Setiap tahun menunggu jawaban, tapi belum juga datang kabar gembira. Keluhan masyarakat Banjaroyo belum ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Kepada fornews.co Tolib mengatakan, jalan tersebut dibangun sekitar tahun 80-an. Sebelum menjadi jalan alternatif antarprovinsi, jalan tanah yang kelak diaspal itu merupakan jalan setapak ke sungai. Sungai yang menjadi pembatas antarprovinsi itu menyambung ke Kali Progo.
Tolib cerita, jalan yang kerap rusak itu dulunya adalah mata air. Sejak tahun 60-an jalan setapak justru melebar dan kerap dilewati masyarakat. Akhirnya sekitar tahun 80-an jalan setapak diaspal, dibuat jalan raya.
“Jalan ini biasanya menjadi jalur alternatif saat mudik, ketika lebaran,” ujar Tolib.
Selain itu, lampu bertenaga matahari yang selama ini menjadi penerang jalan malah padam. Lagi-lagi masyarakat sudah melaporkannya ke pihak terkait tapi belum juga direspon.
Tolib pernah dipesan oleh temannya, jika terdapat penerangan jalan yang mati untuk segera melaporkan agar bisa segera diperbaiki. Namun begitu laporan itu disampaikan, temannya justru balik kanan dengan alasan tidak mampu memperbaiki lampu bertenaga surya.
“Wah nek lampu tenaga matahari aku ora iso (wah! Kalau lampu tenaga surya aku tidak mampu),” kata Tolib menirukan ucapan temannnya yang ahli penerangan itu.

Di sekitar perbatasan, masuk wilayah DIY, setiap pekan sekali dulunya ada petugas kebersihan. Terakhir terlihat sekitar tahun 2000-an.
“Dulu sempat juga ada yang bersih-bersih, tapi sekarang tidak lagi,” terang Tolib. “Terakhir sekitar tahun 2000-an.”
Masyarakat berharap, jalan rusak dan penerangan dapat kembali diperbaiki. Padahal kabarnya jalan ini rencana bakal menjadi akses utama dari bandara Yogyakarta International Airport (YIA) menuju Borobudur.
Selesai berbincang dengan warga saya berpamitan meneruskan perjalanan ke Yogyakarta.
Ikuti juga fornews.co di instagram