Penulis oleh A.S. Adam
SETELAH ayahnya wafat pada tahun 1896, Kiai Haji Achmad Dahlan dipercaya sebagai Khatib Amin di Masjid Gede Yogyakarta.
Mohammad Darwis, nama kecil Kiai Haji Achmad Dahlan yang kelak mendirikan organisasi Muhammadiyah, pernah dikecam oleh para sesepuh ulama Karaton Yogyakarta.
Para sesepuh ulama Karaton itu menuding Khatib Amin telah merubah dasar-dasar agama karena merubah arah kiblat.
Arah kiblat Masjid Gede Yogyakarta diketahui melenceng di sebelah Utara garis katulistiwa di antara 24 derajat.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, Khatib Amin mengundang para ulama Karaton termasuk sesepuh ulama di sekitar Masjid Gede guna menjelaskan maksudnya.
Dengan santun, lemah lembut dan beradab, Kiai Haji Achmad Dahlan mengungkapkan tentang melencengnya arah kiblat di Masjid Gede.
Baca: Awalnya Bernama Masjid Gede Yogyakarta
Dijelaskan Kiai Haji Achmad Dahlan, bahwa arah kiblat harus diserongkan ke arah Barat Laut dengan membuat garis shof panjang ditarik dari Selatan ke Utara sebagai tanda arah kiblat yang benar.
Peristiwa yang terjadi pada tahun 1897 itu didokumentasikan dalam tulisan oleh salah satu muridnya bernama Kiai Sujak.
Pasca perubahan arah kiblat, selaku Khatib Amin, Kiai Haji Achmad Dahlan justru dimusuhi oleh kelompok dan orang-orang yang mengatasnamakan Islam.
Orang yang paling sengit terhadap Kiai Haji Achmad Dahlan adalah Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat.
Baca: Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta Wujud Konsep dari Sunan Kalijaga
Berdasarkan film “Sang Pencerah” tokoh pengurus Masjid Gede Kauman Yogyakarta, Azman Latif, membenarkan adanya konflik antara Khatib Amin dan Hoofdpenghulu.
“Saya tahu malah dari film Sang Pencerah,” katanya.
Azman malah tidak tahu banyak soal konflik yang sempat difilmkan itu.
“Tapi konflik itu terjadi sebelum tahun 1912, sebelum Muhammadiyah lahir,” ungkapnya.
Terhadap film “Sang Pencerah”, pengkaji sejarah Muhammadiyah, Mu’arif, dalam tulisannya mengatakan pembaca harus berhati-hati membaca setiap literatur agar tidak terjebak.
“Para pembaca bakal terjebak pada dua tokoh Kamaludiningrat sebagaimana Hanung Bramantyo sewaktu membuat skenario film Sang Pencerah,”katanya.
Meski kisah itu masyhur di kalangan warga Muhammadiyah, kata Mu’arif, tetapi tidak ditemukan kejelasan bagaimana seorang pejabat rendahan bisa melakukan reformasi keagamaan secara struktural.
“Kapan peristiwa ini terjadi juga tidak banyak buku yang menjelaskannya.”
Kesalahan cerita dalam film terhadap dua Kamaludiningrat, yakni Hoofdpenghulu Mohammad Khalil dan Hoofdpenghulu Mohammad yang dikenal sebagai Kiai Sangidu bisa mengaburkan sejarah.
Hoofdpenghulu Mohammad Khalil Kamaludiningrat yang disebut-sebut sebagai memusuhi Khatib Amin meninggal pada tahun 1914.
Sebagai penggantinya, Kiai Sangidu sahabat sekaligus teman seperjuangan Kiai Haji Achmad Dahlan diangkat menjadi Hoofdpenghulu Mohammad Kamaludiningrat.
Pasca peralihan jabatan Hoodpenghulu pada tahun 1914, gerakan Muhammadiyah mulai memasuki Bangsal Priyayi.
Atas seijin Kiai Sangidu, kantor penghulu dapat dipergunakan sebagai aktivitas dan kegiatan sekaligus wadah tabligh.
Atas dukungan Kiai Sangidu, Muhammadiyah buah pikir Kiai Haji Achmad Dahlan dapat terus digerakkan melibatkan Kepenguluan Karaton Yogyakarta dan Pakualaman. (*)