JOGJA, fornews.co — Mengawali tahun 2025 lebih dari puluhan lukisan dipamerkan menyusul keluhan sulitnya perupa otodidak berpameran di Jogjakarta.
Pameran seni rupa yang berlangsung tanggal 8-14 Februari 2025 di Museum Sonobudoyo Jogjakarta setidaknya melibatkan 120 perupa di seluruh Indonesia.
Dengan mengusung tema “Pesona Indonesia”, 3 Art Project, berupaya memberikan ruang kepada seniman di seluruh Indonesia untuk berkesempatan pameran di Jogjakarta.
Ketua penyelenggara pameran seni rupa nasional, Ardian Kresna, menyebut Jogjakarta adalah candradimuka bagi seniman Indonesia. Namun, tidak sedikit pelukis yang sulit berpameran di Jogja.
“Ada 80 pelukis luar Jogja turut dalam pameran ini,” ucapnya kepada fornews.co, usai pembukaan pameran, Sabtu sore, 8 Februari 2025.
Ardian membenarkan adanya kesenjangan yang mencolok antarperupa di Indonesia. Tidak hanya di Jogja.
Maka, kata dia, kalau belum berpameran di Jogja seorang pelukis atau pematung belum diakui sebagai perupa.

Untuk keempat kalinya 3 Art Project menggelar pameran seni rupa yang mewadahi para seniman.
Event pameran yang diselenggarakan 3 Art Project pertama di Galeri Hotel, Benteng Vredenberg, Taman Budaya dan keempat di Sonobudoyo.
Namun, menurunnya kolektor lukisan di Indonesia menjadi “peringatan” keras bagi seniman untuk berkarya lebih idealis.
Baca: Pameran Tunggal ke-18 Godod Sutejo “Manjing”
Pameran yang dibuka langsung oleh Profesor Dr. M. Baiquni, M.A. sekaligus Ketua Dewan Guru Besar UGM berseloroh apa yang bisa dihadiahkan kepada masa depan generasi nanti?
Baiquni yang sehari-hari beraktivitas sebagai “umar bakri” di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan ingin menggerakan profesor untuk berkontribusi dalam seni dan budaya.
“Kalau ada 100 profesor bersama seniman, maka dimulai dari Jogja kita gerakan Indonesia menjadi pusat kebudayaan,” katanya.

Ada sebuah peristiwa saat dirinya bersama rombongan mahasiswa S3 melakukan perjalanan dari Manado ke Gorontalo.
Langkah mereka terhenti saat melihat para petani sedang memanen padi menggunakan alat tradisional ani-ani.
Para petani itu menyambut rombongan dengan bersuka ria dan bahagia melantunkan tembang-tembang khas daerah setempat setelah mengetahui rombongan datang dari Jogja.
“Para petani adalah seniman sejati, para pembangun, buruh tani, buruh gendong, buruh kerja pabrik, mereka sesungguhnya juga memiliki jiwa seni,” kata Baiquni.
Baca: Pameran Patung JSSP #5, Ruwat Gatra Rasa: Redefining Form and Space Sumbu Filosofi Yogya
Ia mengungkapkan rasa terharunya setiap dalam perjalanan bertemu dengan masyarakat lokal mereka menceritakan ilmu pengetahuannya.
Mereka sangat tahu bagaimana mengembara di semesta ini dengan perjalanan bintang melihat bintang. Padahal, mereka bukan ahli astronomi bahkan tidak bergelar insinyur. Tetapi, kata baiquni, mereka punya seni kehidupan.
“Kita rangkul mereka untuk kita muliakan dengan tagline memuliakan kemanusian dan melestarikan lingkungan hidup,” ujarnya.
Presiden Arcipelago Action Risert Expedition itu ingin membangun kesenian sebagai semangat kebudayaan dan semangat untuk bangkit di tengah-tengah hiruk-pikuk yang kurang sehat sekaligus mengajak menyehatkan dan menjernihkan diri.
Menurut Baequni, karya-karya yang dipamerkan bukan semata materi tetapi memiliki dimensi-dimensi moral dan spiritual.
Ada tahapan-tahapan dalam kebahagiaan, jelasnya. Pertama fisik yang bahagia, kedua ada intelektual kebahagiaan, ketiga estetika kebahagiaan.
“Nah salah satunya adalah berkarya seni,” ujarnya.
Kemudian keempat dan kelima, yakni ketika kita mampu berbagi maka kita bisa menjadi memiliki moral kebahagiaan.
“Ketika kita bisa berserah diri bahwa semua ini titipan Ilahi, maka itulah kebahagiaan paling tinggi yaitu ilmu ihlas,” ujarnya.
Dijelaskan, berada di tengah-tengah materi intelektual, moral dan spiritual, maka estika menjadi jembatan untuk memuliakan manusia, melestarikan lingkungan hidup dan hanya mengabdi kepada Ilahi Yang Maha Esa.
Baequni menyebut kesenian sebagai semangat untuk kebudayaan.

Mewakili kurator pameran, Dr. Drs. Hajar Pamadhi M.A., memaparkan pada prinsipnya seni adalah ekspresi.
“Ini dimulai ketika Amerika memisahkan diri dengan Eropa. Perkembangan seni di Eropa mengunggulkan teknik yang kuat, sementara Amerika menekankan prinsip bahwa seni adalah ekspresi,” terangnya.
Dari sanalah kemudian para seniman melahirkan karya-karya abstrak. Namun, kata dia, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perkembangan seni rupa bahwa estetika tidak dinilai pada karya melainan terhadap personal.
Menurutnya, tidak salah jika ada karya yang dinilai tidak bagus justru malah laku terbeli dibandingkan dengan lukisan yang syarat estetika.
Alam telah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, alam yang hadir menjadi guru. Hal ini hanya ada di Indonesia para penghuni di bawah garis katulistiwa.
Baca: Nature Relaxation, Menikmati Lukisan dan Alam di Amaranta Prambanan
Dalam pameran ini para pengunjung tidak hanya sekadar melihat Indonesia dalam bentuk yang ditampilkan tetapi melalui proses perubahan di dalam pikiran.
Imajinasi seseorang akan dimunculkan menghasilkan karya-karya yang berbeda dengan yang dilihat meski memiliki judul yang sama.
Tetapi, kata Ardian, sekira 70 persen pelukis di luar tidak menggantungkan hidupnya seperti pelaku seni di Jogjakarta.
“Namun, masih banyak pelaku seni di Indonesia yang sulit tampil di Jogja,” ungkapnya. “Banyak yang ingin berpameran di Jogja, tetapi merasa susah ditembus.”
Pameran bertajuk “Pesona Indonesia” diramaikan oleh Art performance Ritus Mantra Surya Sakethi, Lembah Manah Dance, Budi Buthenk, Guyup Organic, Ayin DY, Oka M, Anast Calonarang dan 7 Srikandi Pendopo Dalem. (adam)