JOGJA, fornews.co – Perlindungan terhadap anak dan perempuan di Indonesia tidak dilakukan secara serius. Akibatnya, kekerasan terus terjadi.
Meningkatnya kekerasan fisik pada anak menjadi persoalan serius seiring perkembangan teknologi yang pesat.
Baca: Kidz of Day, Pamerkan Karya Anak-anak Dreamhouse
Pola pengasuhan orang tua yang berkelindan tetap tidak menghindarkan anak-anak dari berbagai kasus kekerasan.
Lantas, pola asuh seperti apa yang dilakukan oleh para orang tua agar anak-anak terhindar dari kekerasan?
Yayasan Rumah Impian Indonesia menggelar Parents Meeting mengusung tema “Perlindungan Anak dari Kekerasan Fisik dan Verbal” sepekan lalu di kawasan Jalan Taman Siswa, Jogjakarta.
Baca: Forum LKSA Sleman Sosialisasikan Perlindungan Anak Pengasuhan di Era Digital
Parents Meeting menghadirkan Ambar Tri Anggara Putro dari Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin) sebagai narasumber menjelaskan tentang pola pengasuhan dan hak tumbuh kembang anak.
Kegiatan itu sebagai bentuk komitmen Yayasan Rumah Impian Indonesia terhadap perlindungan anak.
“Jogja harus berterima kasih kepada Rumah Impian Indonesia sehingga program pemerintah tetap berjalan,” sambutnya mengawali presentasinya, Sabtu.
Baca: Tanpa Akta Kelahiran Anak Kehilangan Hak Layanan Publik
Pola asuh orang tua yang cenderung otoriter mengabaikan hak pendapat dan keinginan anak.
Akibatnya, anak tidak terbiasa membuat keputusan dan ada rasa ketakutan untuk mengungkapkan pendapatnya.
Dampak paling serius akibat orang tua yang otoriter, anak akan mengalami stres berakibat terhadap perkembangan emosinya.
Padahal, ungkap Tri, anak memiliki hak hidup dan berkembang.
“Sayangnya, orang tua yang otoriter tidak mempedulikan pendapat dan keinginan anaknya,” ujarnya.
Karakteristik otoriter cenderung kaku, tegas, merasa selalu benar dalam mengemukaan pendapat dan menerapkan hukum jika tidak sesuai aturan atau kemauan orang tua.
Maka, kata Tri, pola asuh orang tua yang otoriter di kemudian hari akan menjadikan anak seperti orang tuanya.
Kebalikan dari pola asuh yang otoriter atau permisif. Pola asuh seperti ini, kata dia, justru membuat anak akan berperilaku agresif ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Meski anak yang tumbuh dengan pola asuh permisif dapat tumbuh lebih kreatif karena keinginannya selalu dipenuhi, tetapi dalam jangka yang panjang akan menjadi tidak dispilin.
“Orang tua cenderung selalu memanjakan si anak akan berdampak buruk terhadap si anak,” terangnya.
Orang tua yang permisif bisa dikatakan menjadi teman baik bagi anaknya. Anak diberikan perhatian, kehangatan dan interaksi yang cukup baik.
Baca: Kemiskinan Penyebab Utama Anak Mencari Nafkah di Jalan
Orang tua yang permisif juga akan selalu mendorong anaknya berbuat apapun yang diinginkan. Tidak ada jadwal anak. Kalaupun ada, orang tua jarang mengatur jadwal anak.
Bahkan, orang tua cenderung mendukung perilaku anak meskipun negatif dan menghindari hukuman bagi anak.
Ada pola asuh lain dengan cara demokratis. Pola asuh ini dianggap paling ideal.
Dengan pola asuh demokrastis anak dapat memiliki kepribadian yang seimbang, mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki komunikasi yang baik, percaya diri dan kreatif.
Baca: Yayasan Rumah Impian Indonesia bersama IPSPI DIY Sosialisasikan Hak dan Perlindungan Anak
Disebut pola asuh demokratis karena adanya keseimbangan permintaan orang tua dibarengi tingginya respon yang diberikan orang tua terhadap anak.
Dengan pola asuh ini anak dapat lebih rasional. Tetapi, anak akan diberikan batasan dan konsekuensi yang konsisten ketika batasan itu dilanggar.
“Tentu saja hal ini dijelaskan kepada si anak untuk disepakati oleh orang tua dan anak,” seloroh Tri.
Orang tua dengan pola asuh demokratis selalu memberikan pujian dan hadiah. Terlabih, ketika anak berprestasi.
Selain itu, komunikasi antara orang tua dan anak akan terjalin dengan baik sehingga anak selalu berperilaku jujur, patuh, dispilin dan bahagia.
Baca: Celaka! Masih Banyak Orangtua Sesatkan Anak
Berbeda dengan orang tua yang tidak peduli dengan anaknya. Membiarkan anaknya berkembang dengan sendirinya.
Orang tua hanya memenuhi makan, tempat tinggal dan pakaian. Sementara kebutuhan psikologis dan emosional tidak terpenuhi.
Orang tua yang tidak peduli terhadap anaknya, maka, anak akan dididik oleh gawai, televisi atau video game.
Umumnya orang tua selalu merasa sibuk hanya karena persoalan ekonomi dan sebagainya.
Padahal, kata Tri, lambat laun anak akan sadar bahwa dirinya tidak penting bagi orang tuanya sehingga cenderung menjadi anak mandiri.
Tetapi anak yang tumbuh dengan pola asuh cuek cenderung tidak percaya diri, emosi tidak terkontrol, tidak mampu mengontrol diri, sulit menjalin relasi dan komunikasi. Akibatnya, berdampak terhadap nilai akademis yang buruk.
Yayasan Rumah Impian Indonesia berkomitmen melakukan perlindungan terhadap anak-anak Indonesia.
Persoalan keluarga dan pengasuhan anak telah mengalami tantangan yang sangat besar.
Kekerasan tidak hanya terjadi secara langsung, namun, dapat berawal dari aktifitas online yang diakses oleh masyarakat.
Ketua Yayasan Rumah Impian Indonesia, Yosua Lapudooh, menyebut meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia berpotensi terhadap ancaman kejahatan cyber.
“Bahkan, selama pandemi lalu kekerasan meningkat,” ungkapnya.
Pengguna internet di Indonesia sebanyak 171 juta jiwa atau meningkat menjadi 8,9 persen tidak dapat dianggap biasa.
Rumah Impian Indonesia menyoroti kasus kekerasan anak di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) meningkat hingga ratusan kasus.
Berdasarkan catatan dari Dinas P3AP2 DIY pada tahun 2023 kasus kekerasan pada anak meningkat hingga 414 kasus anak.
Kekerasan pada anak itu mayoritas dialami oleh anak pada rentang usia 11-17 tahun dan berjenis kelamin perempuan.
Bahkan, sepanjang tahun 2023 terjadi kasus kekerasan berbasis online sebanyak 21 kasus.
Kekerasan berbasis online itu adalah korban paling banyak mengalami kekerasan dalam bentuk kekerasan seksual.
“Harapan kami dengan adanya Parents Meeting ini orang tua dapat berperan aktif dalam pencegahan kekerasan fisik dan verbal,” kata Yosua.
Dengan beberapa pola asuh itu, kata Tri, dapat menemukan benang merah terhadap pola asuh yang berdampak pada kekerasan fisik dan verbal pada anak.
Tri sependapat, para orang tua juga dapat berperan aktif dalam pencegahan kekerasan fisik dan verbal dengan meningkatkan pengasuhan dalam keluarga.
Acara itu dihadiri orangtua dampingan Yayasan Rumah Impian Indonesia dari 5 kampung di Kota Jogja, yaitu Jogoyudan, Tukangan, Sidomulyo, Tlukan dan Wonocatur. (adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.