Oleh: FX Hastowo Broto Laksito, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta dan aktif dalam penulisan isu-isu publik dan politik)
Isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menjadi perdebatan publik yang menghangat dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai pihak mengajukan gugatan hukum, meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) maupun pengadilan terkait menegaskan legalitas dokumen tersebut.
Namun, sebelum perdebatan mereda sepenuhnya, kini muncul isu baru: keabsahan ijazah Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden terpilih.
Pergeseran isu ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah ini sekadar proses hukum biasa, atau ada nuansa politisasi yang lebih kuat?
Dari perspektif hukum, dugaan pemalsuan ijazah tentu bukan hal remeh. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan bahwa pemalsuan surat atau dokumen merupakan tindak pidana yang dapat dipidana penjara.
Namun, setiap dugaan harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah melalui mekanisme peradilan. Permasalahan timbul ketika isu ini lebih sering muncul dalam ranah opini publik ketimbang proses hukum yang jelas. Dalam situasi ini, publik kerap dibuat bingung antara fakta hukum dan narasi politik.
Jika ditilik dari aspek politik, pergeseran isu dari Jokowi ke Gibran seolah menunjukkan adanya pola politisasi hukum. Isu ijazah dijadikan instrumen delegitimasi, bukan sekadar upaya mencari kebenaran hukum.
Pola ini berbahaya karena bisa mengaburkan perbedaan antara due process of law dengan manuver politik. Demokrasi bisa tergelincir jika hukum hanya dijadikan senjata politik, sementara fakta objektif dikesampingkan.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana media sosial memperkuat isu tanpa verifikasi yang memadai. Netizen dengan cepat memperbanyak tuduhan tanpa menunggu proses hukum.
Akibatnya, reputasi tokoh publik hancur terlebih dahulu di ruang digital, meski pengadilan belum memutuskan apapun. Kondisi ini melahirkan apa yang disebut sebagai ‘trial by social media’ yang tidak jarang lebih kejam daripada pengadilan formal.
Meski begitu, isu ijazah tetap harus dijawab dengan transparansi. Tokoh publik, apalagi pejabat negara, wajib memberikan klarifikasi terbuka terkait legalitas dokumennya.
Prinsip akuntabilitas publik menuntut keterbukaan agar masyarakat tidak terus hidup dalam spekulasi. Transparansi adalah kunci, karena semakin ditutup-tutupi, semakin besar ruang bagi rumor dan politisasi.
Pada titik ini, lembaga hukum juga dituntut hadir secara independen. Jika memang ada bukti kuat, penyelidikan dan persidangan harus dilakukan secara profesional.
Sebaliknya, jika isu ini terbukti tidak berdasar, pengadilan harus berani menolak gugatan yang hanya bermuatan politis. Dengan begitu, hukum tidak menjadi panggung politik, tetapi tetap tegak sebagai alat mencari kebenaran dan keadilan.
Pergeseran isu dari ijazah Jokowi ke ijazah Gibran adalah cerminan rapuhnya batas antara hukum dan politik di Indonesia. Bagi publik, penting untuk bersikap kritis dan menuntut kejelasan hukum, bukan larut dalam narasi politis yang bisa menyesatkan.
Hukum harus tetap dijaga netralitasnya, agar tidak berubah menjadi alat propaganda. Jika tidak, demokrasi kita akan kehilangan fondasi utamanya: kepercayaan pada hukum yang adil dan objektif.*

















