JOGJA, fornews.co — Nandur Srawung tahun ini bertajuk “Wasiat: Legacy” memamerkan karya-karya pelaku seni rupa dari Perang Dunia II hingga masa kini.
Berbagai artefak dan bukti sejarah seni rupa yang menjadi perjalanan para seniman Indonesia ditampilkan secara apik.
Pameran disajikan dalam beberapa klaster berdasarkan periode perkembangan seni rupa di Indonesia, di antaranya Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa (1945-1955), Suara Rakyat dan Gelanggang Warga Dunia (1955-1965), Lantunan Lirisisme dan Perayaan Bentuk (1965-1975), Menggali Akar dan Mendobrak Batas (1975-1985), Pengembara di Dunia Mental dan Mimbar Bebas (1985-1995), Seni Publik dan Media Baru (1995-2005) dan Seni Pop dan Kampung Global (2005-2015).
Nandur Srawung #11 bertajuk “Wasiat: Legacy” yang digelar selama dua pekan dari tanggal 15-28 Agustus 2024 di Galeri Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dibuka untuk umum secara gratis.
Nandur Srawung mengajak memasuki ruang waktu sehingga dapat mengetahui kilas sejarah kekaryaan dari para seniman di Indonesia.
Dalam perkembangan Seni Rupa Indonesia tidak lepas dari keberadaan sanggar atau kelompok seni di Jogjakarta. Sanggarbambu dan Bumi Tarung, misalnya.
Sanggar Bumi Tarung yang dikenal sanggar seni sayap kiri di Indonesia diperkirakan muncul sekira tahun 1961 ketika gejolak politik memanas.
Seluruh anggota Sanggar Bumi Tarung merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menentang seni abstrak, selebihnya, fokus pada buruh dan petani yang melawan borjuis.
Sanggar Bumi Tarung didirikan oleh Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Sabri Djamal, Djoko Pekik, Ng Sembiring, Isa Hasanda, Adrianus Gumelar, Haryatnopada Tan, Kuslan Budiman, Sutopo, Suharjiyo Pujanadi dan Harmani.
Bagi Sanggar Bumi Tarung karya seni abstrak tidak bisa dinikmati oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat kelas bawah.
Sebagai pedoman untuk menciptakan karya mereka mengajak seniman menggunakan prinsip 151 yang dibuat oleh Lekra. Maka, seluruh anggota Sanggar Bumi Tarung wajib menjadi anggota Lekra terlebih dahulu.
Lekra yang memiliki jargon “politik sebagai panglima” adalah organisasi seniman dan budayawan yang berdiri pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif DN Aidit, Sudharnoto, Joebaar Ajoeb, Arjuna, Henk Ngantung, A.S. Dharta, M.S. Ashar, dan Njoto.
Danarto dari Sanggarbambu menganggap Sanggar Bumi Tarung terlalu memaksakan realisme sosialis. Menurutnya, Sanggar Bumi Tarung melakukan itu agar menjadi satu-satunya pedoman dalam berkarya.
Baca: Sanggarbambu Gerakan Kesenian di Tepian Arus
Beberapa seniman lain bahkan mengkritik karya-karya yang dihasilkan Sanggar Bumi Tarung terlalu kasar. Akibatnya di masa Orde Baru, Sanggar Bumi Tarung dibubarkan. Nasibnya seperti organisasi kiri lainnya yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Berbeda dengan Sanggarbambu yang tidak memilih untuk berpolitik. Salah satu pendirinya, Soenarto bin Moe’id Prawirodiharjo atau akrab disapa Soenarto Pr, telah meletakkan filosofi Sanggarbambu sebagai sanggar kehidupan.
Sabutuhe, saperlune, sacukupe, sabenere, samestine, sakepenake (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, senyamannya). Begitulah pesan Soenarto Pr.
Sanggarbambu yang berdiri pada 1 April 1959–lebih tua dari Sanggar Bumi Tarung–tidak tumbang meski pada tahun 1965 terjadi tragedi politik. Ini menjadi bencana dalam dunia seni. Kesenian menjadi mati.
Sehingga ketika terjadi pembersihan organisasi masyarakat secara besar-besaran pada tahun 1960-an Sanggarbambu tidak ikut terseret.
Namun, Soenarto Pr dan Sanggarbambu dapat melewatinya. Hal ini membuat Soekarno kagum. Bahkan, Sanggarbambu masih ada hingga saat ini–meski Soenarto Pr telah wafat.
Soekarno kagum terhadap Sanggarbambu yang tidak ikut-ikutan dalam urusan politik meski dimungkinkan di luar sanggar ada sebagian yang berurusan dengan politik.
Sanggar ini menjadi sangat penting dalam sejarah seni di Indonesia karena melahirkan banyak perupa, sastrawan dan seniman lainnya seperti Kirdjomulyo, Motinggo Boesje, Danarto, Putu Wijaya, Arifin C Noer, WS Rendra, Adjib Hamzah, GM Sudarta, Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Heru Sutopo, Kusno Sujarwadi, Mulyadi W, Linus Suryadi AG, Mien Brodjo, Soeharto Pr, Soesilomurti, Syahwil, Handogo, Soemadji, Irsam, Isnaeni MH, Indros, Wardoyo, Adi Kurdi, Untung Basuki, Totok Buchori, dan seniman tersohor lainnya.
Memasuki era digital karya-karya seniman seni rupa di masa lalu tanpa disadari telah memengaruhi gaya seni rupa di Indonesia.
Kedua sanggar tersebut telah banyak melahirkan seniman. Tidak hanya dalam seni rupa tetapi juga sastra, pertunjukan dan teater.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata wasiat berarti pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan wafat. Pemberian tersebut biasanya berupa harta kekayaan dan sebagainya.
Kata wasiat artinya pesan, perintah, nasihat, atau suatu ucapan atau pernyataan. Kata wasiat sendiri juga bisa diartikan sebagai penggabungan.
Baca: Pameran Seni Rupa “Gugur Gunung” Dukung FKY 2022
Secara etimologi, kata wasiat berasal dan bahasa Arab washiyyat yang berjenis kata isim masdar dan bermakna taushiyyat atau îsa’.
Kata tausiyyat dan îsa’ tersusun dari tiga huruf asal yaitu waw, shot dan ya, yang berarti jatuh dari kedudukan yang tinggi menyambung dan mempertemukan.
Sedangkan dalam hukum Islam, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris dinyatakan wafat.
Wasiat juga memiliki arti pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberikan wasiat sesudah orang yang berwasiat wafat.
Baca: Ketahanan Pangan Isu Pameran Seni Rupa FKY 2023
Bahkan, kata wasiat juga bisa diartikan memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu secara sukarela dan tidak mengharapkan imbalan.
Secara general konsep kewarisan Islam dalam artian peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah wafat kepada ahli warisnya tidak hanya terbatas dalam pengertian hukum waris secara eksplisit melainkan seperti wasiat juga masuk dalam kategori di dalamnya.
Maka, hukum wasiat tak ubahnya sebagai batu loncatan bagi ahli waris yang terhijab untuk bisa mendapatkan harta warisan.
Baca: IKASSRI Pameran Seni Rupa Bertajuk “Soul For The Fine Arts”
Pameran yang dikuratori oleh Sujud Dartanto dan Irene Agrivina, sangat selektif memilih karya-karya yang dipamerkan.
Sujud menjelaskan mengapa “wasiat” dipilih sebagai tajuk utama dalam pameran, “Kita membutuhkan inspirasi dari sejarah yang telah dicapai oleh para mestro dengan prestasi, artistik, dan gagasan-gagasan yang monumentalnya.”
Tetapi, Nandur Srawung, tidak secara terang-terangan mengatakan adanya konflik dalam dunia seni rupa di masa lalu.
“Ada corak yang bertemakan kritik sosial yang juga memiliki muatan kerakyatan, ada juga yang mengangkat tema kehidupan sehari-hari. Tipis batasannya,” terangnya.
Berdasarkan sejarah, Sujud, mengatakan nasionalisme pada masa pemerintahan Soekarno sangat ditekankan. Soekarno sangat galak menggalang nasionalisme.
Sehingga pada tahun 1955-1965 muncul dua tarikan, ke arah nasionalisme dan ke arah yang lebih global. Ini dapat dilihat dari karya-karya yang dipamerkan.
Meski sejarah seni rupa Indonesia bermula dari Jogja bukan lantas hanya memamerkan karya-karya seniman jebolan Jogja. Nandur Srawung yang semula berformat Nandur Gawe juga melibatkan seniman lintas usia dari berbagai kota dan negara.
Hal itu disampaikan Irene dalam Jumpa Pers pada Kamis, 15 Agustus 2024, sore beberapa jam sebelum pembukaan pameran diresmikan oleh Kepala Dinas (Kundha Kabudayan) Kebudayaan Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), Dian Lakshmi S.S., M.A.
“Kita tidak hanya mengakomodir seniman yang ada di Jogjakarta,” terangnya.
Kata Irene, pameran yang digelar tahun ini tidak ada batas usia dan domisili seniman karena Nadur Srawung adalah event internasional.
Pada Klaster Pengembara di Dunia Mental dan Mimbar Bebas (1985-1995) seniman mancanegara Olga Souvermezoglou berkolaborasi denga Taring Padi.
Selain itu, pada pameran kali ini juga menawarkan program pendidikan dan berbagai pengetahuan yang diberi nama Nandur Sinau.
Nandur Sinau berupa kelas Kelas Pengantar Sejarah Seni Rupa yang dirancang untuk meperkenalkan dan memberikan pemahaman dasar tentang sejarah seni rupa Indonesia.
Kelas Pengantar Sejarah Seni Rupa akan dipandu oleh Kurator Seni dan Dosen Jurusan Tata Kelola Seni ISI Jogjakarta, Dr Mikke Susanto S.Sn, M.A.
Baca: Gerakkan Dinamika Kebudayaan Indonesia di “Srawung Jogja”
“Yang menarik juga tahun pameran tahun ini ada penghargaan bai pelaku seni yang telah berjasa dan berkontribusi besar terhadap perkembangan seni rupa di Jogja dan Indonesia,” ucap Kepala Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Dra. Purwiati.
Selain Lifetime Achievement Award, juga ada Young Rising Artist Award yakni penghargaan untuk seniman muda berbakat usia 18-35 tahun yang berpartisipasi pada pameran Nandur Srawung #11.
Selain itu, Nandur Srawung tahun ini menghadirkan bursa seni mulai collectable art item hingga merchandise seniman, Open Studio showcase, Wicara Seniman, Tur Kuratorial bagi pengunjung terutama siswa-siswi sekolah dan penyandang disabilitas serta Lokakarya untuk publik. (adam)