Jadilah Watu Kali, tetap tegar kuat tak mudah terbawa arus. Jadi Pelukis itu, harus berani jadi Jaran Balap (Kuda Pacu) jangan jadi jaran Gendheng atau Jaran Andong. (Djoko Pekik)
YOGYA, fornews.co – Budaya dialog antarseniman lintas generasi di Yogyakarta terjadi hingga sekarang.
Peringatan 100 hari Djoko Pekik di Bentara Budaya Yogyakarta pada Rabu lalu tanggal 22 November 2023 adalah bukti dialog seniman antargenerasi di Yogyakarta masih terjaga.
Mengutip kalimat “pelukis celeng” sang maestro Djoko Pekik, yang ditujukan kepada perupa muda, menjadi pelukis itu harus berani. Haruslah menjadi kuda pacu bukan justru menjadi kuda penarik kereta.
Baca: Ketahanan Pangan Isu Pameran Seni Rupa FKY 2023
Bicara seni rupa di Indonesia yang mengalami pergeseran, menurut Yaksa Agus, materi dan popularitas bukanlah segalanya.
“Menang bukan menjadi tujuan, tapi, tanggung jawab untuk sampai selesai,” kenang Yaksa meniru ucapan mendiang Djoko Pekik.
Namun, kata dia, seorang pelukis harus siap berpacu dengan waktu bukan sekadar bekerja setiap waktu.
Yaksa menilai Djoko Pekik adalah pelukis rendah hati yang selalu mendorong para perupa muda untuk konsisten dalam dunia seni rupa.
Pesan-pesan Djoko Pekik yang ditangkap Yaksa Agus menjadi catatan yang menurutnya perlu dicontoh.
Kedekatan Yaksa Agus dan Djoko Pekik terlihat pada sebuah lukisan yang dipamerkan di Bentara Budaya bertajuk Pameran Lukisan Peringatan 100 hari Djoko Pekik.
Yaksa turut memamerkan lukisannya berjudul “Selamat Tidur, Pak” memotret Djoko Pekik dengan kesan jenaka.
Lukisan itu bergambar Djoko Pekik yang sedang tidur-tiduran mengenakan kaos oblong dan bercelana pendek.
Dalam lukisan itu Djoko Pekik nampak bersantai menyangga kepalanya dengan tangan kanan dan mengempit tangan kirinya yang masuk di antara kedua pahanya.
Lukisan Djoko Pekik karya Yaksa Agus itu adalah peristiwa pada Peringatan 1000 hari wafatnya pelukis maestro Affandi pada 1993.
Saat itu, kata Yaksa, Djoko Pekik melukis di makam Affandi dalam posisi tidur-tiduran.
“Ketika Pak Pekik melukis Affandi tidur-tiduran di samping makam almarhum. Kemudian itu yang saya lukis hari ini posisi yang sama,” katanya mengenang pertemuan dengan Djoko Pekik.
Baca: Pelukis Buta Bulgaria Temukan Teknik Baru Dalam Seni Rupa
Dialog perupa antargenerasi yang turun-temurun seperti dialami Yaksa tidak hanya membicarakan seni rupa. Bahkan tentang kejujuran, budaya dan berbagai pemikiran yang berkelindan.
Bagi sebagian perupa, peristiwa Djoko Pekik di makam Affandi agaknya susah diterima. Padahal, ungkap Yaksa, maksud dari lukisan Djoko Pekik itu Affandi hanya tertidur.
“Sama halnya dengan Pak Djoko Pekik hari ini. Dia hanya tertidur jasadnya,” jelas perupa yang juga aktif menulis budaya tentang maksud karya lukisannya.
Ditanya soal lukisannya oleh kontributor fornews.co, Dian Wahyudi, Yaksa menjawab bahwa jiwa dan semangat Djoko Pekik seperti halnya Affandi yang tetap hidup bersama para perupa Indonesia.
“Saya bisa akrab dengan Pak Djoko Pekik dari peristiwa di peringatan 1000 harinya Affandi,” ungkapnya. “Kontribusi mendiang Pak Pekik perlu kita catat dan kita hormati.”
Yaksa berseloroh kalau hanya sekadar euphoria peringatan 100 hari Djoko Pekik tentu tidak mendapatkan apa-apa.
Ia berharap adanya pameran tersebut para perupa menjadi manusia berbudaya bukan justru berkesan mendompleng karya-karya dan popularitas Djoko Pekik.
“Bukan hanya karya tapi juga pemikiran-pemikiran Djoko Pekik,” terangnya.
Djoko Pekik yang pernah fenomenal dengan lukisan “Berburu Celeng” tahun 1999 mewariskan karya monumental yang melintasi waktu.
Peristiwa fenomenal itu lantas melahirkan konsistensi yang menggarap tema kerakyatan, kemanusiaan dan sosial politik sehingga Djoko Pekik dijuluki penggawa seni lukis tiga zaman.
Baca: Pameran Patung JSSP #5, Ruwat Gatra Rasa: Redefining Form and Space Sumbu Filosofi Yogya
Mengapa mendapat julukan “punggawa seni lukis tiga zaman”? Ini karena Djoko Pekik pernah mengalami masa Orde Lama kekuasaan Soekarno, reformasi dan pandemi.
Pameran lukisan bertajuk “Nguntapke Djoko Pekik” tanggal 23-28 November 2023 lalu dimaknai Yaksa melukis adalah bercerita.
“Saya lebih menangkap kejujuran dan sikap berbudaya yang perlu dicontoh dari Djoko Pekik. Bukan sekadar Pak Pekik populer atau kaya rayanya,” kata Yaksa Agus.
Meski sebenarnya pameran hanya diikuti oleh puluhan perupa yang melayat pada pemakan jenazah Djoko Pekik, namun, sebanyak 105 perupa melibatkan diri dalam pameran tersebut.
“Sebenarnya pameran ini diikuti mereka yang terlibat acara pelepasan jenazah waktu pemakaman pak Pekik. Seingat saya sekira 50-an perupa yang melayat ke Imogiri. Tapi, kemudian banyak ingin ikut pameran. Ya, panitia membuka siapa saja bisa ikut,” beber Yaksa.
Puluhan perupa yang melayat itu di antaranya Tulus Warsito, Godod, Pupuk, Nasirun, Hari Budiono, Budi Ubruk, Yaksa Agus, Yusa Dirgantara, Rifzika, Deden ketua SB hingga yang termuda Tantar Matano JR.
Di rumah duka, sebelum acara pelepasan jenazah, para pelukis merespon dengan melukis bersama dari Jam 09.00 – 13.00 WIB diiringi petikan gitar Ncik Sri Krisna.
Ncik membawakan lagu “Leng Ji Leng Beh” yang terinspirasi dari karya Djoko Pekik dan “Kita Berteman Sudah Lama” dari Romo Sindhunata bertepatan dengan peristiwa Reformasi 98.
“Mengutip dari Romo Sindhu bahwa kematian tidak perlu diratapi,” tandasnya. (dian wahyudi/adam)
Copyright © Fornews.co 2023. All rights reserved.