JAKARTA, fornews.co – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mahfud MD menyatakan, bahwa draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebenarnya sudah akan diketok.
Karena ada demo besar, maka pada tahun 2019 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta untuk menunda pengesahannya. Apalagi, rencananya RKUHP ini diberlakukan sebagai hadiah kemerdekaan Republik Indonesia.
“Masih ada waktu pembahasan. Mungkin jika ada masalah, bukan ditunda tapi dilakukan perbaikan. Kalau jelas ada pasal yang membahayakan, ya dihapus atau direformulasi,” ujar Mahfud, saat berdiskusi dengan Dewan pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Bersama Dewan Pers yang dipimpin ketuanya, Prof Azyumardi Azra, M Agung Dharmajaya (wakil ketua), anggota Dewan Pers (Arif Zulkifli, Ninik Rahayu, Yadi Hendriana, dan A Sapto Anggoro dan Sasmito Madrim anggota konstituen Dewan Pers), Mahfud mengungkapkan, minta catatan reformulasi terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah.
“Sampaikan reformulasi secara konkret sekaligus simulasinya. Besok akan saya sampaikan ke Kemenkumham. Wamenkumham akan kita panggil minggu depan,” ungkap dia.
Menko Polhukam melanjutkan, KUHP adalah politik hukum penting, pemerintah berharap secepatnya berlaku saat peringatan kemerdekaan nanti karena KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk kolonial.
Nah, Dewan Pers Bersama masyarakat sipil lain melihat ada 14 pasal dan 9 klaster yang potensial melemahkan kebebasan Pers. Jadi perlu dihapus atau direformulasi.
Untuk hal itu, Mahfud yang didampingi Deputi Hukum dan HAM Sugeng Purnomo menyampaikan, ada sekitar 700-an pasal dalam RKUHP. Jadi kalau hanya ada usulan 14 pasal, maka jumlah itu tidaklah banyak..
Mahfud tidak mau menjamin penundaan berlakunya KUHP tersebut. Hanya saja, sebelum RKUHP maju ke persidangan, harus dibahas secara jelas. Menko Polhukam berjanji akan memanggil Kemenkumham untuk membicarakannya dan akan melibatkan Dewan Pers.
Merespons hal itu, Prof Azra menuturkan, pada 2018 lalu Dewan Pers telah mengajukan usulan delapan klaster pasal yang dinilai bermasalah. Namun, masukan dari Dewan Pers dan konstituen tidak dimasukkan sama sekali.
Pada draf yang sekarang ini, terang Azra, justru ada sembilan klaster dari 22 pasal umum yang mengganggu hak berekspresi, 14 di antaranya berkaiatan dengan kemerdekaan pers.
“Kita sudah bertemu dengan konstituen Dewan Pers dan para pemangku kepentingan. Pertemuan dengan Kemkumham yang dipimpin Wamenkumham Prof Edward (Edi) Omar Sharif Hiariej dan tim perumus sudah dilakukan Dewan Pers pekan lalu,” terang dia.
Azra menyatakan, terhadap rumusan reformulasi RKUHP yang diminta segera oleh Mahfud MD, pihak Dewan Pers bekerja cepat, hari Kamis ini juga melakukan penyusunan reformulasi, dengan melibatkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, ahli hukum Bivitri Susanti, mantan Ketua YLBHI Asfinawati, Tim LBH Pers dipimpin Ade Wahyudin, dan lain-lain.
Sementara, Samsan Ngandro mengatakan, pasal terkait dengan pers yang mengandung delik harus diperbaiki.
“Dewan Pers juga minta supaya pasal-pasal bermasalah didrop atau direformulasi,” kata dia.
Lalu, Arif Zulkifli menyampaikan, pemberitaan soal terorisme pun bisa diperkarakan karena harus lengkap.
“Pemberitaan pers pasti yang terdepan dan belum lengkap. Demikian juga soal penghinaan pada presiden hingga lurah/kepala desa, bisa menjadi perkara,” ujar dia.
Arif khawatir, kelak ada selfcensorship yang tinggi di media, akan berbahaya bagi kelangsungan kehidupan pers dan masyarakat.
Ninik mengatakan, masih ada waktu untuk mengawal RKUHP dan berharap, pasal yang tak seharusnya ada bisa dikeluarkan. “Intinya adalah reformulasi,” kata dia.
Sasmito menambahkan, secara prinsip AJI tidak menolak RKUHP itu. Tapi, RKUHP masih perlu masukan dari masyarakat luas dan penyempurnaan sehingga tidak buru-buru diberlakukan. (aha)